Aceh Utara – Pujatvaceh.com – Dalam masa berkecamuknya perang antara kerajaan Aceh melawan Belanda pada periode 1873 – 1903, Sawang memegang peranan penting dalam perjuangan, Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah dalam bergerilya selama perang Aceh berkecamuk. Kota ini didirikan oleh ayahanda beliau, Sultan Alaiddin Mansyursyah yang disebut dengan Kuta Batee Sawang dan mengangkat seorang penguasanya Teuku Laksamana Sawang yang berkuasa dari tahun 1870 – 1882.
Selama masa kekuasaan Teuku Chiek Laksamana dibangunlah benteng pertahanan yang terbuat dari susunan batu dan tanah yang mengelilingi istana dan pusat pemerintahan kerajaan Kuta Sawang. Benteng pertahanan ini tidak mampu ditembus oleh Belanda karena mendapat perlawanan heroik dari pasukan kerajaan Kuta Batee Sawang yang masih tunduk ke kerajaan Peusangan kala itu.
Setelah meninggalnya Teuku Chiek Laksamana, kerajaan diteruskan oleh anaknya Pang Benseh hingga tahun 1884, selanjutnya setelah Pang Benseh meninggal digantikan oleh adiknya Pang Mahmud hingga tahun 1889. Pada tahun 1889 pasukan marsoses Kolonel Macan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel berhasil menembus pertahanan benteng Kuta Batee Sawang dan membumi hanguskan kerajaan Kuta Batee Sawang.
Dan hingga kini hanya tersisa benteng pertahanan dan meriam. Jangkar kapal kuno serta makam Teuku Chiek Laksamana yang berada di Gampong Gunci Aceh Utara yang menjadi saksi sejarah kerajaan Kuta Batee Sawang yang kini masuk dalam wilayah kabupaten Aceh Utara.
Pada Minggu 21 Agustus 2022, ahli waris dari keturunan Teuku Chiek Laksamana mengadakan haul dan peusapapat wareeh di lokasi bekas kerajaan Kuta Batee Sawang yang terletak di kecamatan Sawang kabupaten Aceh Utara. Sejumlah pejabat dan anggota legislatif hadir untuk memberikan dukungan agar sejarah dan peninggalan sejarah Teuku Laksamana dilestarikan.
“Alhamdulillah,sebenarnya di tahun 2021 kita laksanakan, tetapi terkendala karena covid 19 maka hari ini baru dapat terlaksana. Haul dan peusapat wareh ini diharapkan menjadi salah satu ajang silaturahmi para keturunan Teuku Laksamana yang tersebar di beberapa daerah Aceh dalam melestarikan peninggalan Teuku Laksamana,” ujar Teuku Jamaluddin TB, ketua panitia acara tersebut.
Sementara itu salah seorang tokoh dan sesepuh keturunan Teuku Laksamana, Teuku Syarif mengharap kepedulian pemerintah untuk menyelamatkan situs kerajaan ini agar menjadi salah satu saksi sejarah Aceh dalam melawan penjajah Belanda.
“Saya sangat mengharapkan kepada pemerintah agar supaya apa yang kami lakukan ini atas nama wareeh. Namun, kami mohon dukungan dari pemerintah,” ucap Teuku Syarief, salah seorang keturunan Teuku Laksamana.
Wakil ketua DPRK kota Lhokseumawe T. Sofianus yang juga garis keturunan yang sama akan terus berupaya dengan pemerintah bagaimana bisa menyelamatkan bukti sejarah di kecamatan Sawang kabupaten AcehUutara ini kedepannya.
“Yang jelas kami berhimbun di acara halal bihalal ini, begitu banyak peninggalan sejarah yang kurang diperhatikan. kita tau ada benteng, rumah, meriam dan ini yang perlu kita jaga. Kita minta semua elemen bisa menyambung apa yang disampaikan oleh bapak-bapak (keturunan Teuku Laksamana),” kata T. Sofianus atau yang akrab disapa Poncek.
Anggota DPRA Tarmizi Panyang yang juga mantan kombatan GAM yang semasa konflik berbasis di Sawang juga mengapresiasi, dirinya akan menyuarakan hal ini ke pemerintah Aceh agar mendapatkan perhatian.
“Harapan dari keluarga untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya di Kuta Batee ini ada sejarah yang tidak mungkin dilupakan. Saya selaku anggota DPRA dan mantan pejuang masa konflik, berharap pemerintah dan Gubernur Aceh dapat menggali lagi sejarah di Sawang dan melestarikannya serta keturunannya serta memberikan perhatian penuh,” terang Tarmizi Panyang.