Banda Aceh – Pujatvaceh.com- Beginilah aktivitas keseharian Warga India Tamil yang menetap di Wilayah Indonesia paling barat, yakni Aceh.

Di Kampung Keudah, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, disinilah warga keturunan India Tamil bermukim dan menetap sejak puluhan tahun silam. Toleransi umat beragama terlihat sangat kental di kawasan yang dulunya menjadi tempat persinggahan pertama para pedagang dari luar Aceh, yang masuk melalui jalur laut.

India Tamil menginjakkan kaki di Tanah Rencong melalui jalur laut, dan mereka masuk sebagai pedagang yang ingin berniaga ke Serambi Mekkah. Menurut literatur yang ada, Etnis India Tamil sudah bermukim di Aceh sejak Indonesia belum mengikrarkan kemerdekaan. Hal itu dibuktikan dengan kokohnya Kuil Palani Andawer yang berdiri sejak tahun 1934.

Namun, jumlah penduduk Etnis India Tamil di tanah Serambi Mekkah semakin berkurang. Gelombang Tsunami tahun 2004 silam juga telah memporak-porandakan kota berjuluk negeri syariah ini, hingga memaksa sebagian warga hindia tamil memilih hijrah ke luar Aceh.

Kini warga India Tamil yang masih bermukim di Banda Aceh dan Aceh Besar hanya tersisa sebanyak empat kepala keluarga lagi, atau sekitar dua puluhan jiwa.

Hal itu dibenarkan oleh pembimbing masyarakat Hindu (Pembimas), Kantor Kementerian Agama Provinsi Aceh, Sahnan Ginting. ia menuturkan, bahwa sebelum bencana tsunami terjadi, Hindu Tamil dan Hindu Sik banyak bermukim di kawasan Kampung Keudah. Bahkan saat itu mereka memiliki tiga kuil peribadatan, namun gelombang tsunami telah meluluh lantakkan tempat peribadatan tersebut.

Pasca Tsunami, kuil kembali dibangun dan rutinitas peribadatan berjalan seperti semula, meski terkadang umat yang melakukan persembayangan sangat sedikit, hingga nyaris tidak ada di hari-hari biasa.

Hal itu dikarenakan terkadang warga India melakukan rutinitas ibadah sehari-hari di rumah masing-masing, akan tetapi kuil tetap dibuka.

“Di Kota Banda Aceh tidak begitu banyak walaupun ada sekitar 4 atau 5 keluarga di seputaran kota Banda Aceh dan tepian Aceh Besar. Pada awalnya sebelum Tsunami tempat ibadah Hindu khususnya masyarakat Hindu Tamil dan Hindu Shik di Kota Banda Aceh ada 3 tempat ibadah yang aktif pada masa itu. Pelaksanaan kegiatan keagamaan rutinitas itu pagi dan sore dilakukan oleh Phinandita yang ada di tempat itu sedangkan sembahyang rutin umum dilakukan pada hari Jumat sore” Ujar Sahnan Ginting, Pembimas Hindu Kemenag Aceh.

Walau hanya tersisa puluhan jiwa lagi, keakraban dan toleransi Umat Hindu Tamil dan warga pribumi masih terjalin sangat baik. Dari penuturan warga, rata-rata warga etnis India Tamil yang masih menetap di Aceh, merupakan keturunan generasi kedua dari nenek moyang mereka terdahulu. Aceh tidak hanya menjadi tempat persinggahan bagi mereka, namun Tanah Aceh merupakan tanah kelahirannya.

Warga juga mengatakan, mereka hidup saling berdampingan dan saling menghormati satu sama lain, termasuk saat hari-hari besar keagamaan mereka pun saling bahu-membahu.

 “Umat beragama di antara umat muslim dan tamil sudah terjadi sebelum tsunami. Jadi keakraban antara tamil sama pribumi ini sudah bersaudara bahkan kayak masjid antara masjid dan kuil berdekatan beda jaraknya mungkin 100-200 meter dan tidak pernah terjadi konflik” Ujar Edison, Warga.

 “Misalnya kami saling kalau ibuk ini ada hari raya dia kami ucapin kekgitu, ibuk ini juga seperti itu kalo kami ada kemalangan atau ada acara kalau diundang dia akan datang” Kata Dedek, Warga.

Seperti yang diceritakan oleh Pinandita atau Pimpinan Kuil Palani Andawer, rada khrisna, bahwa dirinya dan keluarga besarnya hidup di Aceh sejak tahun 1934. Dahulu, kakek dan orang tuanya merantau menjadi pedagang, serta lambat laun keluarganya semakin bertambah karena mereka menikah dan mempunyai keturunan.

Meski telah melalui berbagai zaman di Aceh, hingga sekarang zaman dimana Syari’at Islam diterapkan di tanah rencong, Rada Khrisna masih nyaman dan aman tinggal di Aceh.

Pemberlakuan Syari’at Islam tidak menjadi penghalang bagi mereka dalam sejumlah pelaksanaan ritual keagamaan yang mereka anut. Mereka tetap nyaman dan aman dalam menjalankan ritual tersebut di kuil, yang merupakan rumah ibadah yang mereka yakini.

Selain menjadi penjaga kuil, Rada Khrisna juga membuka usaha perbengkelan yang letaknya berseberangan dengan kuil. Bahkan pada akhir pecan, Rada Khrisna secara suka rela melatih anak-anak di sekitar tempat tinggalnya bermain bola kaki.

Anak-anak yang berlatih bola kaki pun merasa senang dilatih oleh Rada, perbedaan keyakinan tidak menyurutkan keinginan mereka untuk berlatih setiap dua kali dalam satu minggu.

Penerapan Syariat Islam di Aceh tidak menjadi benteng pemisah untuk keberagaman. Perbedaan keyakinan bukanlah satu penghalang bagi warga muslim dan India Tamil untuk terus menjalankan kehidupan sosial bermasyarakat dan saling toleransi satu sama lain dalam bingkai keharmonisan di Negeri Syariah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini